Sosiologi sastra merupakan suatu kajian sastra yang dilihat dari kacamata sosiologi. Dengan kalimat lain, sosiologi sastra merupakan studi tentang hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Dalam kajian tersebut dibutuhkan berbagai teori sosiologis yang dapat diaplikasikan ke dalam pengkajian karya sastra. Artikel dalam blog ini akan mencoba mendeskripsikan konsep dasar konflik sosial yang bisa diterapkan dalam kajian-kajian sastra.
|
Konsep Dasar Konflik Sosial dalam kajian Sastra
|
Konsep Dasar Konflik Sosial
Sebelum berbicara tentang konflik sosial, perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian konflik itu sendiri. Dalam hal ini telah banyak pakar yang memberikan penjelasan tentang pengertian konflik.
Pengertian Konflik
Secara etimologi, pengertian konflik pernah dikemukakan oleh Setiadi (2011). Ia menyatakan bahwa istilah konflik berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
Menindaklanjuti pengertian di atas, Willian Chang mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah tempat tinggal, pekerjaan, uang dan kekuasasan?”, ternyata jawabnya “tidak”; dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Selanjtnya, Setyaning (2011:5) juga memberikan definisi mengenai konflik. Ia menyatakan bahwa konflik merupakan proses sosial antar dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Pengertian Konflik Sosial
Setelah mencermati pengertian konflik di atas, akan dibahas tentang pengertian konflik sosial. Konflik sosial adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Seorang tokoh sosiologi modern, yaitu Ralf Dahrendorf dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam masyarakat industri menyatakan bahwa konflik sosial merupakan sumber terjadinya perubahan sosial. Hal ini terjadi karena perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi dapat juga dari luar masyarakat. Perubahan dari dalam masyarakat tidak selalu disebabkan oleh konflik sosial, tetapi terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain. Ia pun mengamati bahwa konflik tidak selalu menghasilkan revolusi dan perubahan sosial dapat terjadi tanpa revolusi.
Selanjutnya, Dahrendorf juga menyatakan pendapatnya mengenai pengaturan konflik. Menurutya, konflik sosial tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat diatur, sehingga setiap konflik tidak berlangsung dalam bentuk kekerasan.
Di sisi lain, Ismail (2011) mengatakan bahwa setiap komunitas memiliki struktur sosial, yaitu jalinan hubungan antar individu atau kelompok sosial dalam masyarakat sesuai status dan peranan yang dimilikinya. Bentuk struktur sosial tersebut dapat berupa proses konflik dan integrasi (pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat) dalam masyarakat.
Konflik dan integrasi merupakan sebuah pasangan yang melekat dalam kehidupan masyarkat. Jadi, walaupun konflik merupakan bentuk kontradiktif (berlawanan, bertentangan) dari integrasi, tidak selamanya kedua hal tersebut harus dipertentangkan.
Dalam kehidupan nyata, integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan sebenarnya dapat ditata kembali. Pandangan ini bertentangan dengan kaum materialisme dialektikal. Mereka menganggap bahwa konflik akan mendorong timbulnya konflik yang lebih lanjut. Demikianlah hasil pemikiran para pemikir abad kesembilan belas, konflik selalu bersifat merusak.
Selanjutnya, ada juga pendapat lain dari Setiadi (2011) yang termuat dalam International Encyclopedia of the Social Sciences. Ia menguraikan pengertian konflik dari aspek antropologi. Menurutnya, konflik adalah sesuatu yang ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu.
Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukuran. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia.
Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interaksi antara para anggota. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative (kerjasama), competition (persaingan), dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga ditandai oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan seluruh masyarakat yang hidup selalu bersifat kooperatif.
George Simmel dan Ralf Dahrendorf fokus dalam membicarakan interaksi sosial dan konflik sosial. Dahrendorf menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat cenderung menyimpan potensi konflik. Beberapa anggapan dasar berkenaan dengan konflik menurut Dahrendorf adalah sebagai berikut.
- Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi perubahan dan konflik sosial, sehingga antara konflik dan perubahan merupakan dua variable yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi, sedangkan perbedaan akan mengantarkan pada timbulnya situasi konflik.
- Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi diatas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik manifes (terbuka).
Selanjutnya, Simmel (2011) menyatakan bahwa masyarakat yang sehat tidak hanya membutuhkan hubungan sosisal yang sifatnya integratif dan harmonis, tetapi juga membutuhkan adanya konflik. Ia memandang konflik sebagai suatu yang tidak dapat dicegah timbulnya, yang secara potensial dapat mempunyai kegunaan yang fungsional dan konstruktif (bersifat membangun), maupun sebaliknya, dapat pula tidak bersifat fungsional dan destruktif (bersifat merusak).
Konflik mempunyai potensi untuk memberi pengaruh positif maupun negatif dalam berbagai taraf interaksi manusia. Dalam kehidupan manusia terutama dalam bermasyarakat, manusia tidak akan terlepas dari konflik dan pertikaian yang ada. Hal ini dikarenakan pada kecenderungan lain dari manusia, selain bekerja sama manusia juga mempunyai keinginan untuk lebih baik dari manusia yang lain, maka timbullah apa yang disebut persaingan dalam kehidupannya.
Lebih lanjut, Setiadi (2011) menerangkan bahwa setiap kehidupan sosial selalu berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanaen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik, baik secara personal maupun secara interpersonal. Setiap kehidupan sosial terdapat konflik di dalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yeng mengisi setiap kehidupan sosial.
Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial itu sendiri sehingga, lenyapnya konflik juga akan bersamaan dengan lenyapnya kehidupan sosial. Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi perubahan dan konflik sosial, sehingga antara konflik dan perubahan merupakan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya situasi konflik.